Perlakuan PPh dan PPN pada Transaksi Cost Sharing Penyelenggaraan Event Bersama

Cost sharing event antar PKP, kena PPh & PPN gak ya? 🤔 PPh: Jika ada margin (keuntungan) = kena PPh. Jika reimburse murni tanpa margin, seharusnya tidak kena PPh (karena tak ada tambahan kemampuan ekonomis).

Perlakuan PPh dan PPN pada Transaksi Cost Sharing Penyelenggaraan Event Bersama
Photo by Product School / Unsplash

Anda bertanya mengenai perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada transaksi cost sharing dalam penyelenggaraan event bersama antara dua Wajib Pajak Badan yang keduanya berstatus PKP, di mana tidak ada pembentukan Joint Operation (JO/KSO).

Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh)

Dalam konteks PPh, prinsip dasarnya adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak akan menjadi objek PPh. Ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh sttd Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UU HPP), yang menyatakan bahwa:

"Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun."

Terkait pernyataan: "No Margin = tidak kena PPh, W/ Margin = kena PPh", ada beberapa hal yang perlu dipahami:

  1. Reimburse Murni Tanpa Margin: Jika transaksi cost sharing ini benar-benar merupakan penggantian biaya (reimbursement) murni, di mana pihak yang menagihkan biaya cost sharing tidak mendapatkan keuntungan (margin) sama sekali, dan hanya menagihkan sejumlah biaya yang sama persis dengan yang telah dikeluarkan (misalnya, menagihkan Rp100 juta karena memang mengeluarkan Rp100 juta), maka secara substansi tidak ada tambahan kemampuan ekonomis bagi pihak yang menagihkan. Dalam situasi ini, seharusnya tidak ada objek PPh. Namun, penting untuk memiliki bukti pendukung yang kuat untuk menunjukkan bahwa ini memang reimbursement murni tanpa margin.
  2. Transaksi yang Mengandung Margin: Jika dalam penagihan cost sharing terdapat margin atau keuntungan yang diperoleh salah satu pihak, maka margin tersebut jelas merupakan tambahan kemampuan ekonomis dan akan menjadi objek PPh. Ini sejalan dengan prinsip Pasal 4 ayat (1) UU PPh.
  3. Beban yang Dapat Dikurangkan: Bagi pihak yang mengeluarkan biaya dan menerima penagihan cost sharing, biaya yang dibayarkan tersebut pada umumnya dapat diakui sebagai biaya yang dapat dikurangkan (deductible expense) dalam perhitungan PPh Badan, sepanjang memenuhi syarat 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan) dan tidak termasuk biaya yang tidak boleh dikurangkan.
  4. Pelaporan SPT Tahunan: Penghasilan dari cost sharing (jika ada margin) atau pengurang biaya (reimbursement) harus dilaporkan berdasarkan laporan keuangan perusahaan pada tahun pajak yang bersangkutan. Jika penghasilan tersebut tidak termasuk dalam kategori penghasilan final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh) dan bukan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak (Pasal 4 ayat (3) UU PPh), maka akan terhitung sebagai objek PPh yang terutang pada SPT Tahunan.

Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Terkait PPN, transaksinya berlaku ketentuan umum Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPN sttd Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UU HPP), yaitu:

  • PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
  • PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

Dalam kasus cost sharing penyelenggaraan event bersama, perlu dianalisis lebih lanjut:

  1. Adanya Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP): Jika dalam proses cost sharing tersebut, salah satu pihak (misalnya, pihak A yang menagih cost sharing) dianggap melakukan penyerahan jasa kepada pihak lain (pihak B yang membayar cost sharing), maka atas penyerahan jasa tersebut terutang PPN. Meskipun hanya berupa penagihan biaya, jika ada kegiatan yang memenuhi definisi penyerahan jasa (misalnya, pihak A secara de facto mengorganisir event dan pihak B "menggunakan" jasa organisasi tersebut dengan membayar bagian biayanya), maka PPN dapat terutang.
  2. Reimburse Murni (Tidak Terutang PPN): Jika penagihan cost sharing ini merupakan penggantian biaya murni (reimbursement) di mana tidak ada penyerahan BKP/JKP baru dari satu pihak ke pihak lain, maka secara umum tidak terutang PPN. Konsep reimbursement murni dalam PPN biasanya terjadi jika biaya yang ditagihkan merupakan pengalihan beban, bukan penyerahan JKP. Contohnya, jika pihak A membayar tagihan listrik event untuk kepentingan bersama, dan pihak B mengganti sebagian dari tagihan listrik tersebut kepada pihak A. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah penggantian biaya, bukan penyerahan jasa listrik baru dari A ke B.Kunci penentuannya adalah apakah ada service element atau penyerahan BKP/JKP dari satu pihak ke pihak lain dalam penagihan cost sharing tersebut.
  3. Faktur Pajak: Jika dianggap terutang PPN, maka pihak yang menagih cost sharing wajib menerbitkan Faktur Pajak.

Rekomendasi

Mengingat kompleksitas interpretasi antara reimbursement murni dan penyerahan jasa/barang yang terutang PPN/PPh, serta kebutuhan pembuktian yang kuat, disarankan untuk:

  • Menganalisis Kontrak: Periksa dengan cermat isi kontrak cost sharing Anda. Apakah ada ketentuan yang menyatakan salah satu pihak bertindak sebagai penyedia jasa untuk pihak lain, atau hanya sebagai koordinator pembayaran?
  • Dokumentasi Kuat: Pastikan Anda memiliki dokumentasi yang lengkap dan jelas (bukti pembayaran ke vendor, rincian biaya, perhitungan cost sharing) untuk mendukung klaim bahwa tidak ada margin atau tidak ada penyerahan BKP/JKP baru.
  • Konsultasi dengan DJP: Untuk kepastian hukum dan menghindari potensi sengketa pajak di kemudian hari, sangat disarankan untuk menghubungi Kring Pajak 1500200 atau datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Anda. Mereka dapat memberikan interpretasi yang lebih spesifik berdasarkan rincian transaksi Anda.